Gerakan Pemakzulan Jokowi, Blunder Atau Tepat?
Redaksi - Sabtu, 20 Januari 2024 19:53 WIB
Muhammad Ikhyar Velayati.
Oleh: Muhammad Ikhyar Velayati
Kepanikan kelompok anti-Jokowi yang ketakutan capres yang diusung akan kalah telak pada Pilpres 2024 semakin menjadi-jadi dan tindakannya menjadi liar dan tidak terkendali.
Kekhawatiran yang luar biasa dari kelompok oposisi tersebut berawal dari hasil berbagai survei periode Oktober hingga Januari 2024 kecenderungan elektabilitas Capres-Cawapres Prabowo-Gibran justru semakin tidak terkejar, bahkan diprediksi jika tren ini bertahan maka pilpres satu putaran akan menjadi kenyataan.
Mulai ada gerakan dan narasi yang dibangun untuk menghempang dan menggerus elektabilitas pasangan 02 tersebut secara masif, terstruktur dan sistematis.
Pasangan Prabowo-Gibran dipersepsikan sebagai kelanjutan dari kebijakan dan sosok Jokowi yang dijadikan common enemy (musuh bersama) dari berbagai kalangan yang selama ini secara ekonomi maupun politik tersingkirkan dari panggung kekuasaan.
Jika kita cermati, gerakan dan isu pemakzulan sudah dimulai pada bulan Juni lewat surat mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana yang mendorong DPR untuk memulai proses pemakzulan Jokowi karena dianggap melakukan pelanggaran konstitusi.
Saat itu masyarakat dan elit politik masih bingung dan meraba raba konstitusi apa yang dilanggar oleh Presiden Jokowi hingga harus dilengserkan.
Kemudian wacana pemakzulan dilanjutkan oleh politikus Partai Keadilan Sejahtera Mardani Ali Sera pada bulan Oktober. Isu yang diangkat politikus PKS ini Jokowi dianggap mendorong putra sulungnya maju sebagai cawapres Prabowo Subianto, padahal jikapun benar itu adalah hak politiknya Gibran yang dibenarkan oleh UUD.
Isu yang diangkat oleh Mardani Ali Sera disambut oleh Anggota DPR RI dari PDIP Masington Pasaribu. Bukan sekadar berwacana tetapi lebih maju dengan mendorong DPR menggunakan hak angket terkait polemik yang terjadi saat itu di tubuh Mahkamah Konstitusi (MK). Tetapi usul Masinton ini mudah dipatahkan dan tidak punya landasan hukum, karena keputusan lembaga yudikatif tidak bisa dijadikan objek hak angket. Strategi ini kembali blunder.
Saat ini kekuatan anti-Jokowi menambah opsi gerakan dengan menggunakan parlemen jalanan yang dipimpin para akademisi, mantan pejabat dan purnawirawan TNI yang tersingkir dari panggung kekuasaan, mantan Aktivis 98 dan tokoh NGO untuk menambah daya dobrak dan daya tawar gerakan pemakzulan Jokowi yang tergabung dalam Petisi 100.
Strategi yang dibangun oleh kekuatan anti-Jokowi baik di parlemen maupun nonparlemen memakai dua pendekatan yaitu delegitimasi kekuasaan Jokowi di parlemen serta mobilisasi aksi massa dengan isu dan narasi kecurangan pemilu, pemakzulan dan politik dinasti. Ini isu sentral yang menjadi fokus serangan pihak oposisi.
Ada dua target politik yang diharapkan dengan strategi di atas. Pertama, isu, narasi dan gerakan mobilisasi massa tersebut diharapkan akan menghilangkan atau meminimalisir legitimasi Jokowi. Hal ini diharapkan berdampak pada tergerusnya ekektabilitas pasangan Prabowo-Gibran.
Jika ini terjadi maka skenario pilpres dua putaran dapat terwujud dan pada putaran kedua baru akan digalang koalisi capres di tingkat elit dan penyatuan suara di tingkat akar rumput, walaupun ini sedikit naif karena suara elit tidak berbanding lurus dengan suara di akar rumput.
Kemudian target kedua dari gerakan pemakzulan Jokowi adalah antisipasi jika pasangan Prabowo-Gibran tetap menang satu putaran. Maka isu kecurangan pemilu dan pemakzulan akan dijadikan alat utama untuk mendelegitimasi hasil pemilu dan desakan agar dilaksanakan pemilu ulang tanpa Jokowi.
Jika gerakan ini tidak mendapat respon massa, paling tidak bisa sebagai alat tawar kepada capres terpilih untuk dilibatkan dalam kabinet yang baru yang dibentuk.
Akan tetapi fakta yang terjadi sebaliknya. Semakin Jokowi diserang elektabilitas pasangan Prabowo-Gibran justru semakin tinggi. Hal ini terlihat dari berbagai hasil survei jelang Pilpres 2024.
Menurut saya pihak oposisi salah dalam membaca peta politik di akar rumput sehingga blunder dalam merancang strategi dan taktik pemenangan capresnya.
Mereka harusnya membaca tren tingkat kepuasan rakyat terhadap kinerja Jokowi selama dua tahun terakhir mendekati angka 75%. Bahkan survei terakhir Indikator Politik periode 10-16 Januari 2024, kepuasan publik terhadap kinerja Presiden Jokowi mencapai 79,3%. Jadi tidak mengherankan strategi mereka tidak mendapat respon positif dari masyarakat.
Justru saya khawatir dan mengingatkan para elit politik untuk mulai mempertimbangkan gerakan dan strategi politik pemakzulan Jokowi, karena akan bisa memancing reaksi aktif dari silent majority pendukung Presiden Jokowi.
Reaksi terhadap pelaku serangan politik terhadap Presiden Jokowi sudah diberikan oleh rakyat dalam bentuk hukuman elektoral, hal ini terlihat turunnya elektabilitas partai dan capres tersebut ke titik terendah karena gencar mendiskreditkan Jokowi dalam setiap narasi kampanye. (***)
Penulis adalah Ketua Umum DPP Relawan Persatuan Nasional (RPN)
Baca berita dan artikel Indomedia.co lainnya di Google News
Editor
: Redaksi
SHARE:
Tags
Berita Terkait
Kawal Program Presiden, Tim 8 Akan Berubah Menjadi Ormas Nasional
Bobby-Surya Harus Rangkul Timses Edy-Hasan Jika Menang Pilgub Sumut
Pilkada Medan: KIM Vs PDIP
Aktivis 98: PDIP Serang Jokowi, Terpercik Muka Sendiri
Ikhyar Velayati: Rakyat Berharap Elit Bersatu, Bukan Politisasi Hak Angket
Aktivis 98: Gerakan Pemakzulan Jokowi Bisa Memunculkan Reaksi Balik Dari Rakyat
Komentar